Jumat, 12 November 2010

KETRAMPILAN PROSES, INQUIRY DAN DISCOVERY LEARNING

         Pendekatan keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan pengembangan keterampilan–keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang prinsipnya telah ada dalam diri siswa. Pendekatan keterampilan proses pada pembelajaran sains lebih menekankan pembentukan keterampilan untuk memperoleh pengetahuan dan mengkomunikaskan hasilnya.

Mukminan (2003:2) menyatakan bahwa pendekatan yang sekarang dikenal dengan keterampilan proses dan cara belajar siswa aktif (CBSA) masih belum banyak terwujud, serta pembelajaran kurang memperhatikan ketuntasan belajar secara individual.


         Pendekatan keterampilan proses dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu siswa. Dimyati dan Mudjiono (2002:138) memuat ulasan pendekatan keterampilan proses yang diambil dari pendapat Funk (1985) sebagai berikut: (1) Pendekatan keterampilan proses dapat mengembangkan hakikat ilmu pengetahuan siswa. Siswa terdorong untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan baik karena lebih memahami fakta dan konsep ilmu pengetahuan; (2) Pembelajaran melalui keterampilan proses akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja dengan ilmu pengetahuan, tidak hanya menceritakan, dan atau mendengarkan sejarah ilmu pengetahuan; (3) Keterampilan proses dapat digunakan oleh siswa untuk belajar proses dan sekaligus produk ilmu pengetahuan. Pendekatan Keterampilan Proses sains memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara nyata bertindak sebagai seorang ilmuwan (Dimyati dan Mudjino, 2002:139). Dari uraian di atas dapat diutarakan bahwa dengan penerapan pendekatan keterampilan proses menuntut adanya keterlibatan fisik dan mental-intelektual siswa. Hal ini dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual atau kemampuan berfikir siswa. Selain itu juga mengembangkan sikap-sikap ilmiah dan kemampuan siswa untuk menemukan dan mengembangkan fakta, konsep, dan prinsip ilmu atau pengetahuan.
Selanjutnya dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari secara obyektif dan rasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keterampilan proses sains merupakan kegiatan intelektual yang biasa dilakukan oleh para ilmuwan dalam menyelesaikan masalah dan menghasilkan produk-produk sains. Keterampilan proses dalam pengajaran sains merupakan suatu model atau alternatif pembelajaran sains yang dapat melibatkan siswa dalam tingkah laku dan proses mental, seperti ilmuwan. Funk (1985) dalam Dimyati dan Mudjiono, (2002: 140) mengutarakan bahwa berbagai keterampilan proses dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: keterampilan proses dasar (basic skill) dan keterampilan terintegrasi (integarted skill). Keterampilan proses dasar meliputi kegiatan yang berhubungan dengan observasi, klasifikasi, pengukuran, komunikasi, prediksi, inferensi. Bila kita kaji lebih lanjut sebagai berikut.
1. Observasi

Melalui kegiatan mengamati, siswa belajar tentang dunia sekitar yang fantastis. Manusia mengamati objek-objek dan fenomena alam dengan melibatkan indera penglihat, pembau, pengecap, peraba, pendengar. Informasi yang diperoleh itu, dapat menuntut interpretasi siswa tentang lingkungan dan menelitinya lebih lanjut. Kemampuan mengamati merupakan keterampilan paling dasar dalam proses dan memperoleh ilmu serta hal terpenting untuk mengembangkan keterampilan proses yang lain. Mengamati merupakan tanggapan terhadap berbagai objek dan peristiwa alam dengan pancaindra. Dengan obsevasi, siswa mengumpulkan data tentang tanggapan-tanggapan terhadap objek yang diamati.
2. Klasifikasi

Sejumlah besar objek, peristiwa, dan segala yang ada dalam kehidupan di sekitar, lebih mudah dipelajari apabila dilakukan dengan cara menentukan berbagai jenis golongan. Menggolongkan dan mengamati persamaan, perbedaan dan hubungan serta pengelompokan objek berdasarkan kesesuaian dengan berbagai tujuan. Keterampilan mengidentifikasi persamaan dan perbedaan berbagai objek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya sehingga didapatkan golongan atau kelompok sejenis dari objek peristiwa yang dimaksud.
3. Komunikasi

Manusia mulai belajar pada awal-awal kehidupan bahwa komunikasi merupakan dasar untuk memecahkan masalah. Keterampilan menyapaikan sesuatu secara lisan maupun tulisan termasuk komunikasi. Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai penyampaikan dan memperoleh fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk suara, visual, atau suara dan visual (Dimyati dan Mudjiono, 2002: 143). Contoh membaca peta, tabel, garfik, bagan, lambang-lambang, diagaram, demontrasi visual.
4. Pengukuran

Mengukur dapat diartikan sebagai membandingkan yang diukur dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterampilan dalam menggunakan alat dalam memperoleh data dapat disebut pengukuran.
5. Prediksi

Predeksi merupakan keterampilan meramal yang akan terjadi, berdasarkan gejala yang ada. Keteraturan dalam lingkungan kita mengizinkan kita untuk mengenal pola dan untuk memprediksi terhadap pola-pola apa yang mungkin dapat diamati. Dimyati dan Mudjiono (2002: 144) menyatakan bahwa memprediksi dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam pengetahuan.
6. Inferensi

Melakukan inferensi adalah menyimpulkan. Ini dapat diartikan sebagai suatu keterampilan untuk memutuskan keadaan suatu objek atau peristiwa berdasarkan fakta, konsep dan prinsip yang diketahui.
B. KETERAMPILAN PROSES TERINTEGRASI

Keterampilan terintegrasi merupakan perpaduan dua kemampuan keterampilan proses dasar atau lebih. Keterampilan terintegrasi terdiri atas: mengidentifikasi variabel, tabulasi, grafik, diskripsi hubungan variabel, perolehan dan proses data, analisis penyelidikan, hipotesis ekperimen.
1. Identifikasi Variabel

Keterampilan mengenal ciri khas dari faktor yang ikut menentukan perubahan.
2. Tabulasi

Keterampilan penyajian data dalam bentuk tabel, untuk mempermudah pembacaan hubungan antarkomponen (penyusunan data menurut lajur-lajur yang tersedia).
3. Grafik

Keterampilan penyajian dengan garis tentang turun naiknya sesuatu keadaan

4. Deskripsi hubungan variabel
Keterampilan membuat sinopsis/pernyataan hubungan faktor-faktor yang menentukan perubahan.
5. Perolehan dan proses data
Keterampilan melakukan langkah secara urut untuk meperoleh data
6. Analisis penyelidikan
Keterampilan menguraikan pokok persoalan atas bagian-bagian dan terpecahkannya permasalahan berdasarkan metode yang konsisten untuk mencapai pengertian tentang prinsip -prinsip dasar.
7. Hipotesis
Keterampilan merumuskan dugaan sementara.
8. Ekperimen 
Keterampilan melakukan percobaan untuk membuktikan suatu teori/penjelasan berdasarkan pengamatan dan penalaran.
Keterampian proses seperti yang diutarakan oleh Funk merupakan keterampilan proses yang harus diaplikasikan pada pendidikan di sekolah oleh guru. Pembelajaran sains menekankan pada pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengembangkan sikap ilmiah. Hal ini bisa tercapai apabila dalam pembelajaran menggunakan pendekatan keterampilan proses baik keterampilan proses dasar maupun keterampilan proses terintegrasi (terpadu) seperti terungkap di atas.
Keterampilan memperoleh pengetahuan yang ingin dibentuk adalah daya pikir dan kreasi. Daya pikir dan daya kreasi merupakan indikator perkembangan kognitif. Para ahli psikologi pendidikan menemukan bahwa pekembangan kognitif bukan merupakan akumulasi kepingan informasi atau kepingan perubahan informasi yang terpisah, tetapi merupakan pembentukan oleh anak suatu kerangka atau jaringan mental untuk memahami lingkungan.
C. INQUIY
Menurut Supriyono Koes H (2003), inkuiri dapat dikatakan sebagai suatu metode yang mengacu pada suatu cara untuk mempertanyakan, mencari pengetahuan atau informasi, atau mempelajari suatu gejala. Oleh karena Sains merupakan cara berpikir dan bekerja yang setara dengan kumpulan pengetahuan, maka dalam pembelajaran Sains perlu menekankan pada cara berpikir dan aktivitas saintis melalui metode inkuiri. Wayne Welch, telah memberikan argumentasi, bahwa teknik-teknik yang diperlukan untuk pembelajaran Sains sama dengan teknik-teknik yang digunakan untuk penyelidikan ilmiah. Metode-metode yang digunakan oleh para saintis harus menjadi bagian integral dari metode pembelajaran Sains. Metode ilmiah dapat dianggap sebagai proses inkuiri. Dengan demikian inkuiri seharusnya menjadi “roh” pembelajaran Sains.Welch telah mengidentifikasi lima sifat pembelajaran inkuiri, yaitu:
a. Pengamatan
Sains diawali dengan pengamatan materi atau gejala. Pengamatan merupakan langkah awal dalam proses inkuiri
b. Pengukuran
Dalam Sains diperlukan deskripsi kuantitatif suatu objek dan gejala melalui pengukuran
c. Eksperimentasi
Eksperimen melibatkan pertanyaan-pertanyaan, pengamatan-pengamatan dan pengukuran. Eksperimen merupakan landasan Sains yang dirancang untuk menguji pertanyaan-pertanyaan dan ide-ide
d. Komunikasi
Komunikasi merupakan bagian yang esensial dari proses inkuiri.
e. Proses-proses mental

Welch mendeskripsikan beberapa proses berpikir yang merupakan bagian integral dari inkuiri ilmiah, yaitu: penalaran induktif, merumuskan hipotesis dan teori, penalaran deduktif, analogi, ekstrapolasi, sintesis dan evaluasi.
Terdapat beberapa model inkuiri, yaitu: inkuiri induktif terbimbing dan tak terbimbing, inkuiri deduktif, dan pemecahan masalah. Sebagai contoh, seorang guru yang membawa siswanya keluar kelas dan meminta mereka untuk menentukan titik api sebuah lensa cembung merupakan aktivitas yang melibatkan siswa untuk melakukan inkuiri induktif terbimbing. Inkuiri induktif terbimbing merupakan bentuk pembelajaran yang berpusat pada guru. Sebaliknya, inkuiri induktif tak terbimbing merupakan inkuiri yang berpusat pada siswa. Metode ini memungkinkan siswa memilih gejala dan metode penyelidikan. Dalam bentuk inkuiri induktif, siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran tentang konsep dan gejala Sains melalui pengamatan, pengukuran dan pengumpulan data untuk menarik kesimpulan. Dalam inkuiri deduktif, siswa mengawali belajarnya melalui topik yang besar, kesimpulan, atau konsep umum dan bergerak menuju ke asus-kasus khusus. Memecahkan masalah merupakan bentuk lain pembelajaran inkuiri. Guru yang menerapkan metode pemecahan masalah akan menggunakan perspektif bahwa siswa-siswa akan mengusulkan penyelesaian masalah dan mengajukan rekomendasi ke arah apa yang harus dikerjakan agar terjadi perubahan, peningkatan, pembetulan, pencegahan atau situasi yang lebih baik.

Dalam pembelajaran Sains, guru diharapkan memiliki filosofi inkuiri, sehingga akan lebih berperilaku sebagai fasilitator pembelajaran, sedangkan siswa ditempatkan sebagai pusat pembelajaran. Oleh arena itu inkuiri merupakan filosofi utama dalam proses pembelajaran sains. Namun demikian, dalam pembelajaran Sains perlu juga digunakan metode pembelajaran lainnya
D. DISCOVERY LEARNING
J. Bruner telah mengembangkan belajar penemuan (discovery learning) yang berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Pada discovery learning siswa didorong untuk belajar secara mandiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip-prinsip. Menurut Carin (1985), discovery merupakan suatu proses di mana anak atau individu mengasimilasi proses konsep dan prinsip-prinsip. Discovery terjadi apabila siswa terlibat secara aktif dalam menggunakan mentalnya agar memperoleh pengalaman, sehingga memungkinkan untuk menemukan konsep atau prinsip. Proses-proses mental itu melibatkan perumusan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, melaksanakan eksprimen, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan. Di samping itu juga diperlukan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu dan terbuka (inilah yang dimaksud dengan sikap ilmiah).Discovery learning memiliki beberapa keuntungan, yaitu: (1) pengetahuan ang diperoleh dapat bertahan lebih lama dalam ingatan, atau lebih mudah diingat, dibandingkan dengan cara-cara lain, (2) dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi untuk memecahkan permasalahan, (3) dapat membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi sisa untuk bekerja terus sampai mereka menemukan jawabannya.
Sumber: Dra. Singgih Trihastuti, M.Pd.Drs. Yoko Rimy, M.Si LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKANDAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2008
http://sholahuddin.edublogs.org/2010/07/15/ketrampilan-proses-inquiry-dan-discovery-learning/#more-707

Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Banyak sekali model-model pembelajaran dalam ruang lingkup pendidikan. Antara lain model pembelajaran kooperatif STAD, model pembelajaran kooperatif jigsaw, model pembelajaran PBI, model pembelajaran CTL, model pembelajaran Terpadu, model pembelajaran Langsung, model pembelajaran Learning Strategi, dan model pembelajaran Active Learning 

Dalam makalah ini akan membahas salah satu model pembelajaran yang telah diuraikan diatas, yaitu tentang model pembelajaran kooperatif Jigsaw. Pada Teknik mengajar dengan menggunakan metode jigsaw ini telah dikembangkan oleh Aronson et al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Teknik ini mengabungkan kegiatan membaca , mendengarkan, ataupun berbicara. Pendekatan ini bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa. Teknik ini cocok untuk semua kelas/ tingkatan untuk itu pada makalah ini akan di bahas tentang model pembelajaran kooperatif jigsaw secara rinci.

1.2 Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian latar belakang diatas, dapat diambil beberapa rumusan masalah antara lain: 
1. Apa pengertian dari Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw?
2. Bagaimana langkah-langkah dalam Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw?
3. Bagaimana Faktor Pendukung dan Penghambat Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw 

Metode pembelajaran tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Jigsaw ini didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang telah diberikan tetapi mereka juga harus memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, siswa saling tergantung dengan yang lain dan harus bekerjasama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan". (Anita,2002).
Metode jigsaw merupakan salah satu variasi model Colloborative learning
yaitu proses belajar kelompok dimana setiap anggota menyumbangkan informasi pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota.
Ditambahkan oleh Silberman (2005), bahwa Jigsaw learning merupakan sebuah teknik yang dipakai secara luas yang memiliki kesamaan sengan teknik "pertukaran dari kelompok ke kelompok" (Group-to-group) dengan suatu perbedaan penting. Setiap peserta didik mengajarkan sesuatu. Setiap peserta didik mempelajari sesuatu yang dikombinasi dengan materi yang telah dipelajari oleh peserta didik lain.

2.2 Langkah-Langkah dalam Proses Pembelajaran dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw 
Terdapat beberapa teknik dalam strategi Cooperative Learning, meski demikian guru tidak harus terpaku pada satu titik saja. Guru dapat memilih dan memodifikasi sendiri teknik-teknik dalam strategi Cooperative Learning sesuai dengan situasi kelas. 
Ditambahkan oleh Halimatus S. (2002), bahwa langkah-langkah dalam Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw antara lain: 
1) Guru memberi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi beberapa bagian
2) Sebelum bahan pelajaran diberikan, guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Guru bisa menuliskan topik dipapan tulis dan menanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut
3) Guru membagi siswa dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari 4 anggota tim (disesuaikan dengan jumlah sub topik) sehingga anggota bertanggung jawab terhadap penguasaan setiap komponen sub topik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya
4) Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggung jawab terhadap sub topik yang sama membentuk kelompok lagi (kelompok pakar/ ahli). Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam (a) belajar menjadi ahli dalam sub topik bagiannya; (b) merencanakan bagaimana mengajarkan sub topik bagiannya kepada anggota kelompok semula
5) Siswa tersebut kembali ke kelompok masing-masing sebagai "ahli" dalam sub topiknya dan mengajarkan informasi penting dalam sub topik tersebut kepada temannya. Ahli dalam sub topik lainnya juga bertindak serupa, sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru, dengan demikian setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik pelajaran secara keseluruhan
6) Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
7) Evaluasi terhadap materi yang diperoleh secara individu
8) Penghargaan
9) Penutup
Berdasarkan informasi dari Anonymous [2007], Faktor kunci keberhasilan yang harus diperhatikan dalam penerapan metode ini adalah:
a) Positive interdependence
Setiap anggota harus memiliki ketergantungan satu sama lain yang dapat menguntungkan dan merugikan anggota kelompok lainnya
b) Individual accountability
Setiap anggota kelompok harus memiliki rasa tanggung jawab atas kemajuan proses belajar seluruh anggota termasuk dirinya sendiri
c) Face-to-face promotive
Anggota kelompok melakukan interaksi tatap muka yang mencakup diskusi dan elaborasi dari materi pembahasan
d) Social skills
Setiap anggota kelompok harus memiliki kemampuan bersosialisasi dengan anggota lainnya sehingga pemahaman materi dapat diperoleh secara kolektif
e) Groups processing and Relection
Kelompok harus melakukan evaluasi terhadap proses belajar untuk meningkatkan kinerja kelompok.

2.3 Faktor Pendukung dan Penghambat Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Learning
A. Faktor Pendukung Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran tipe jigsaw memiliki dampak yang positif terhadap kegiatan belajar mengajar, yaitu dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran, meningkatkan ketercapaian TPK dan dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berikutnya. Selain itu, pembelajaran kooperatif jigsaw ini merupakan lingkungan belajar dimana siswa belajar bersama dalam satu kelompok kecil yang heterogen, untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Siswa melakukan interaksi sosial untuk mempelajari materi yang diberikan kepadanya, dan bertanggung jawab untuk menjelaskan kepada anggota kelompoknya. Jadi siswa dilatih untuk berani berinteraksi dengan sesamanya.
Berdasarkan kerangka berfikir secara teoritis yang dikutip dari pendapat para ahli, dan secara empiris dari hasil penelitian terdahulu, dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif jigsaw dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan demikian , diharapkan penerapan model pembelajaran kooperatif jigsaw dapat meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil belajar (Anita. 2002).

B. Faktor Penghambat Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw 
Tidak selamanya proses belajar dengan metode jigsaw ini berjalan dengan lancar. Terdapat beberapa hambatan yang dapat muncul. Yang paling sering terjadi adalah kurang terbiasanya peserta didik dan pengajar dengan metode ini. Peserta didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan metode konvensional, dimana pemberian materi terjadi secara 1 arah. Faktor penghambat yang lain yaitu kurangnya waktu. Proses metode ini membutuhkan waktu lebih banyak, sementara waktu pelaksanaan metode ini harus disesuaikan dengan beban kurikulum (Anonymous, 2007).

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 
 Metode pembelajaran tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya
 Langkah-langkah dalam Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw antara lain: Guru memberi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi beberapa bagian, Guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Didiskusikan, Siswa yang dianggap paling "ahli" dalam sub topiknya harus mengajarkan informasi penting dalam sub topik tersebut kepada temannya. Ahli dalam sub topik lainnya juga bertindak serupa, sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru, dengan demikian setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik pelajaran secara keseluruhan, Evaluasi terhadap materi yang diperoleh secara individu dan Penghargaan.

 Terdapat Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
 Faktor Pendukung dalam Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw yaitu dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran, meningkatkan ketercapaian TPK dan dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berikutnya. 
 Faktor Penghambat Penggunaan Metode Pembelajaran Kooperatif Jigsaw 

Terdapat beberapa hambatan yang dapat muncul. Yang paling sering terjadi adalah kurang terbiasanya peserta didik dan pengajar dengan metode ini. Peserta didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan metode konvensional, faktor penghambat yang lain yaitu kurangnya waktu. Karena Proses metode ini membutuhkan waktu lebih banyak.
 
http://www.ngawieducation.co.cc/2009/11/model-pembelajaran-kooperatif-jigsaw.html
 

Saling temas dalam Pembelajaran IPA

Pembelajaran sains seharusnya dapat dikaitkan dengan bidang teknologi khususnya produk teknologi dan pengaruhnya terhadap perubahan pola hidup masyarakat serta implikasinya terhadap lingkungan sebagai akibat dari kemajuan teknologi.

Bagaimanakah hubungan antara sains, teknologi, dan masyarakat dalam pengajaran sains? Pendekatan apa yang bisa dilakukan untuk mengemas ketiganya menjadi materi pengajaran sains di sekolah?

Pendekatan sains, teknologi dan masyarakat (STM) atau biasa juga di Indonesia disebut dengan Salingtemas (sains-lingkungan-teknologi-masyarakat) mulai berkembang pada dasarwarsa 70-an, sebagai reaksi dari pola pengajaran sains post-Sputnik. Titik penekanan dari pola ini adalah mengembangkan hubungan antara pengetahuan ilmiah siswa dengan pengalaman keseharian mereka. Paling tidak terdapat dua konteks dalam pedekatan STM ini.


Konteks pertama adalah interaksi sehari-hari siswa dengan dunia sekitarnya. Suatu pengetahuan ilmiah yang luas akan memperkaya kehidupan individu, juga membuat berbagai pengalaman untuk diinterpretasi pada tahap yang berbeda. Pengembaraan di kebun atau hutan misalnya, akan memperoleh suatu pengalaman yang lain bila si 


pengembara/siswa tersebut memiliki pengetahuan biologi dan geologi. Berhubungan dengan hal ini juga adalah ketika pengetahuan ilmiah digunakan dalam menyelesaikan masalah praktis yang bisa muncul kapan saja di sekitar rumah tangga, seperti memperbaiki mainan atau peralatan listrik yang rusak.

Namun, hal ini sudah lama disadari bahwa jika guru ingin siswanya mampu melakukan aplikasi pengetahuan ilmiah, maka latihan yang diberikan untuk hal itu harus lebih banyak. Untuk kebanyakan siswa, hal ini tidak datang secara alami, dan pengetahuan serta ketrampilan yang dipelajari di kelas sains biasanya disimpan dalam “kotak ingatan” yang berbeda dengan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.


Cakupan Luas 
Konteks yang kedua melibatkan cakupan yang lebih luas antara sains melalui teknologi terhadap masyarakat, dengan tujuan ini pengajaran sains bergerak keluar dari sekedar pengajaran sains di kelas. Berbagai materi mulai dari dampak pencemaran udara terhadap lingkungan seperti efek rumah kaca yang berlanjut ke hujan asam, pemanasan global dan perubahan iklim dipelajari di kelas sains. Ruang lingkup STM lebih luas dari sekedar komponen sains dari hal tersebut, namun ke segala hal detil yang mempengaruhi kelangsungan hidup umat manusia secara keseluruhan. Pada pola ini pemahaman sains harus benar-benar dipahami dan ini melibatkan pengajaran sains pada tahapan yang lebih tinggi. Sehingga hal ini akan memberikan tantangan yang berarti bagi guru sains di kelas untuk menyesuaikan diri terhadap pembahasan permasalahan yang diulas dengan taraf pengetahuan siswa.


Pembahasan berbagai permasalahan STM akan membawa kepada pemahaman hal apa yang perlu dilakukan untuk menangani atau mencegah hal tersebut terjadi serta faktor apa saja yang terlibat atau tidak terhadap masalah tersebut membawa berbagai pengetahuan dan kepercayaan di luar pengajaran sains, dan hal nilah yang harusnya diintregrasikan dalam pengetahuan ilmiah. Para siswa diharapkan untuk dapat mulai melihat bahwa walaupun pengetahuan ilmiah berada di belakang permasalahan tersebut namun hal itu tidaklah cukup, diharapkan siswa melakukan tindakan bijak sebagai anggota masyarakat dalam memelihara kelestarian alam. Sehingga siswa belajar menyadari beberapa hal keterbatasan dalam sains yang merupakan bekal berarti bagi kehidupannya.
Pendekatan Lain


Pendekatan sikap dan nilai ilmiah dapat dibedakan dapat dilakukan dalam dua penekanan yang berbeda. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengembangkan berbagai sikap tersebut yang dilihat sebagai sifat-sifat ilmuwan yang bila dikembangkan akan membantu siswa menyelesaikan persoalan sejenis seperti halnya ilmuwan menyelesaikannya.
Beberapa sikap tersebut diantaranya adalah :
 Mengetahui butuhnya bukti sebelum membuat klaim pengetahuan
 Mengetahui butuhnya berhati-hati ketika melakukan interpretasi pada hasil percobaan/pengamatan
 Kemauan untuk mempertimbangkan interpretasi lain yang juga masuk akal
 Kemauan untuk melakukan aktivitas percobaan secara hati-hati
 Kemauan untuk mengecek bukti dan interpretasinya
 Mengakui keterbatasan penyelidikan secara ilmiah


Penekanan yang kedua adalah mengembangkan sikap-sikap khusus terhadap alam sekitar, mata pelajaran selain sains ataupun dasar untuk karir masa depan seperti halnya sikap terhadap sains.
Berbagai sikap tersebut seperti:
 Rasa ingin tahu tentang alam fisik dan biologis dan bagaimana hal itu bekerja
 Kesadaran bahwa sains dapat menyumbangkan hal untuk mengatasi masalah individu ataupun global
 Suatu antusiasme terhadap pengetahuan ilmiah dan metodanya
 Suatu pengakuan bahwa sains adalah aktivitas manusia bukan sesuatu yang mekanis
 Suatu pengakuan pentingnya pemahaman ilmiah dalam dunia yang modern
 Suatu kenyataan bahwa pengetahuan ilmiah bisa digunakan untuk maksud baik maupun jahat
 Suatu pemahaman hubungan antara sains dan bentuk aktivitas manusia lainnya
 suatu pengakuan bahwa pengetahuan dan pemahaman sains berbeda dengan yang dilakukan sehari-hari


Berbagai sikap di atas secara jelas berhubungan dengan sains, dan akan berpotensi terus berkembang khususnya ketika siswa terlibat dalam pelajaran sains di sekolah. Namun, terdapat juga sikap-sikap positif lainnya yang mana seorang guru sains dapat juga meneguhkan dan memperkuatnya seperti rasa tanggung jawab, kesediaan untuk bekerja sama, toleransi, rasa percaya diri, menghargai orang lain, kebebasan, dapat dipercaya dan kejujuran intelektual.
Pengembangan sikap-sikap ini biasanya merupakan konsekwensi tidak langsung dari seluruh pengalaman di sekolah maupun di dunia luar. Tidak seorang guru pun atau sekumpulan kegiatan yang akan bertanggung jawab terhadap sikap siswa terhadap sains. Penelitian dalam pendidikan misalnya, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh hidden curriculum dibanding isi materi kurikulum terhadap cara pandang siswa terhadap dirinya, guru, sekolah maupun proses pendidikan. Namun, walaupun perubahan sikap adalah hal yang lambat dibanding pertambahan pengetahuan dan pengurukannya juga sulit dilakukan, hal ni tidak menjadikan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan.


Pendekatan sifat alamiah dari sains adalah pendekatan yang membawa berbagai implikasi yang terkesan rumit baik bagi siswa maupun guru. Siswa yang belajar di kelas yang paling tidak mendapat tiga mata pelajaran sains (biologi, fisika dan kimia) akan berhadapan dengan beragam guru sains yang juga beragam sikap dan pandangannya tentang sains. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan kebingungan siswa, sudut pandang guru yang mana yang memang lebih tepat? Cara yang lebih baik adalah dengan mengakui adanya keberagaman pandangan tentang sains dan kesulitannya mencari suatu konsensus, untuk kemudian mendiskusikan kekuatan dan kelemahan berbagai pandangan tersebut. Salah satu cara yang telah diterapkan adalah dengan pendekatan sejarah dan filsafat sains (History and Philosophy of Science) yaitu dimana siswa terlibat dalam mempelajari dan menganalisa sebab-sebab historis dimana prestasi sains berlangsung.


Sisi Manusiawi 
Satu hal yang akan menjadi sulit pada pendekatan ini adalah ketidaksetujuan diantara para ilmuwan. Berbagai penemuan baru dan aplikasinya akan diperdebatkan antara ilmuwan, misalnya tentang system klasifikasi mahluk hidup, usulan bagi suatu tindakan terhadap berbagai masalah medis atau lingkungan yang bisa melibatkan kepentingan seluruh umat manusia di bumi. Pandangan sains secara tradisional sedikit menempatkan pertentangan ini lebih-lebih untuk siswa sekolah, namun pandangan lebih modern hal ini menjadi sesuatu yang tak terpisahkan. Sehingga hal-hal yang diperdebatkan baik hal tersebut masalah ilmiah atau sistem nilai adalah hal yang berguna untuk didiskusikan.

Berbagai fokus tersebut menggambarkan pentingnya sisi manusiawi dari sains. Biasanya siswa melihat sains sebagai suatu yang mekanis: para ilmuwan mengikuti sejumlah metoda untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Profil ilmuwan pun biasa digambarkan sebagai orang (biasanya laki-laki) yang berjas putih, serius dan melakukan tugas yang menjemukan. Kenyataannya, hal ini bisa menjadikan banyak siswa justru menghindari pelajaran sains atau menghindari profesi masa depan karir sebagai ilmuwan. Studi kasus sejarah juga dapat digunakan berbagai hal yang berkaitan.

Pendekatan kecakapan individu dan sosial adalah mengembangkan potensi siswa yang juga penting. Sains bukanlah berada dalam suatu posisi yang unik yang memberikan sumbangan terhadap perkembangan kecapakan ini, namun banyak pihak berpendapat bahwa semua guru harus mengembangkan kemampuan individu siswa seperti ketekunan, maupun kecakapan sosial seperti kerja sama. Jika anda sebagai guru mempercayainya, maka hal tersebut akan terlihat dari metoda mengajar yang anda dipraktekkan.
http://sainsmts.blogspot.com/2010/10/salingtemas-dalam-pembelajaran-ipa.html

Pembelajaran IPA Dengan Pendekatan Inquiry

Inquiry merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang banyak dianjurkan untuk diterapkan dalam pembelajaran IPA/Sains, Untuk mengetahui apa dan bagaimana pendekatan inquiry itu, baca artikel berikut
1. Pendahuluan

Fisika adalah bagian dari IPA yaitu ilmu tentang zat dan energi yang pada umumnya didasarkan atas pengamatan / observasi dan eksperimen. Fisika seperti halnya IPA (science) adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui / menggunakan “proses ilmiah” (scientific method), yaitu cara-cara khusus untuk menyelidiki, memecahkan masalah atau menemukan “products” (hasil-hasil ilmiah). Cara-cara tersebut antara lain : mengidentifikasi masalah, membuat hipotesis, mendesain eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengevaluasi data, menarik kesimpulan, dll.

Pengamatan terhadap gejala alam diorganisir menjadi hukum dan prinsip. Hukum dan prinsip harus dapat dijelaskan dengan suatu teori. Teori disusun sedemikian rupa sehingga dapat menjelaskan sebanyak mungkin gejala atau peristiwa yang diamati. Teori harus dapat meramalkan peristiwa-peristiwa baru yang sebelumnya tidak teramati, dan peristiwa yang diramalkan oleh teori itu harus dapat diamati baik langsung maupun tak langsung. Betapapun indahnya suatu teori dirumuskan, tidaklah dapat dipertahankan kalau tidak sesuai dengan hasil observasi. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein: “Science dimulai dari fakta dan berakhir dengan fakta, tidak peduli teori–teori apa yang dibangun diantaranya”. Didalam menjelaskan suatu gejala/peristiwa, kadang-kadang fisikawan memperkenalkan konsep-konsep yang mungkin asing bagi awam seperti : daya, gaya, energi, momentum, dll.,demikian pula dalam menjelaskan hal-hal yang tidak adapat teramati fisikawan sering menggunakan model seperti : model atom, model elektron, ataupun model matematis seperti : usaha = gaya x perpindahan, dll.

Fisika/IPA tidak hanya terdiri atas sekelompok fakta yang berupa hukum, prinsip, dll.,tetapi juga meliputi cara berfikir dan berkarya. Oleh karenanya kurang tepat bila pembelajaran Fisika / IPA semata-mata berupa sekumpulan fakta. Didalam membelajarkan Fisika / IPA guru tidak hanya mengharapkan agar siswa memiliki “products” atau hasil ilmiah saja, tetapi juga diharapkan agar siswa terbiasa menggunakan dan mengalami “ proses ilmiah” atau “metode ilmiah”, karena dengan demikian siswa diharapkan dapat memiliki dan mengembangkan sikap ilmiahnya.

2. Pendekatan dan Metode Pembelajaran IPA/Fisika

Ada dua pengertian dalam cara mengajarkan suatu mata pelajaran, yakni pendekatan dan metode. Pendekatan mengajar adalah langkah untuk sampai ke tujuan atau dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan (Sukarno, 1983 : 61). Dari kutipan di atas pendekatan mengajar merupakan suatu upaya/usaha yang dilakukan oleh seorang guru pada waktu menyajikan bahan pelajaran agar para siswa memperoleh ilmu pengetahuan. Metode mengajar adalah cara menyajikan atau mengajarkan suatu mata pelajaran. Pendekatan mengajar dan metode mengajar merupakan suatu hal yang kait mengkait, karena keduanya merupakan suatu usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Pendekatan mengajar merupakan titik tolak bagi guru dalam menggunakan metode mengajar. Penggunaan metode mengajar akan berhasil baik apabila disertai dengan pendekatan mengajar yang baik dalam arti sesuai atau tepat. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA misalnya :

a. Pendekatan induktif

b. Pendekatan deduktif

c. Pendekatan otoriter (dogmatis)

d. Pendekatan inquiry
a. Pendekatan induktif bertitik tolak dari suatui proses berfikir secara induktif yaitu rangkaian beberapa faktor atau informasi yang kemudian dapat ditarik kesimpulan yang dapat berlaku secara umum dan merupakan suatu generalisasi. Dengan menggunakan pendekatan induktif, guru mengajak siswa mengadakan pengamatan atau percobaan untuk mendapatkan keterangan atau data. Dari data dan keterangan tersebut siswa dengan bimbingan guru berusaha mengolah dan menghasilkan suatu kesimpulan. Dengan menggunakan pendekatan induktif siswa dapat melakukan aktivitas, karena siswa diajak ikut serta atau diikut sertakan dalam menganalisis, menyimpulkan data atau keterangan yang mereka peroleh sendiri melalui pengamatan atau percobaan.

b. Pendekatan deduktif bertitik tolak dari suatu hukum atau kesimpulan umum yang telah dianggap benar untuk sampai kepada suatu hukum yang baru atau suatu kesimpulan yang khusus. Pada pendekatan deduktif ini, guru mengajak atau membimbing siswa untuk merumuskan suatu kesimpulan yang khusus dari pendapat atau hukum yang berlaku umum dan dianggap betul. Sebagai contoh kita memperoleh hukum Boyle-Gay-Lussac dengan menganggap bahwa hukum Boyle adalah benar dan hukum Gay-Lussac adalah benar. Contoh lain kita memperoleh hukum Keppler III dengan menganggap bahwa hukum II Newton dan hukum Newton tentang gravitasi adalah benar

c. Pendekatan otoriter atau pendekatan dogmatis. Pada pendekatan ini gurus secara langsung mengajarkan/menanamkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan kepada siswa,dan siswa menerima saja dan harus percaya mengenai kebenaran dari ilmu tersebut. Penggunaan pendekatan otoriter tidak membimbing siswa untuk berkreativitas, karena siswa tidak mendapat kesempatan untuk ikut memikirkan / mengetahui proses perumusan dari ilmu pengetahuan tersebut. Keterangan yang diterima siswa pada umumnya sudah merupakan atau mengandung suatu kesimpulan sehingga siswa menjadi pasif dan cenderung hanya menjadi pengumpul fakta saja. Dalam membelajarkan IPA-Fisika sedapat mungkin jangan menggunakan penmdekatan otoriter.

d. Pendekatan inquiry adalah pendekatan dengan cara menyelidiki atau mencari. Menurut Kuslan dan Stone dalam bukunya “ Teaching Children Science an Inquiry Approach”, “… Inquiry teaching as that teaching by which teacher and children study scientific phenomena with approach and spirit of scientist” Kutipan di atas dapat diartikan bahwa: pengajaran dengan pendekatan inquiry adalah pengajaran dimana guru dan siswa mempelajari gejala-gejala ilmiah dengan pendekatan jiwa ilmuwan. Dalam menyajikan pelajaran dengan pendekatan inquiry, guru membimbing siswa untuk beraktivitas melalui penyelidikan dan mencari atau mendapatkan data secara eksperimen. Data tersebut kemudian diolah dan dianalisis atau disimpulkan menjadi suatu hukum atau rumusan, sehingga diharapkan siswa dapat memperoleh konsep –konsep pengatahuan dari hasil eksperimennya sendiri. Ilmu pengetahuan atau kesimpulan yang didapat siswa, sebagian besar harus berdasarkan atas hasil usaha siswa itu sendiri. Pengamatan, penyelidikan maupun percobaan, dan analisis datanya harus dilakukan siswa sendiri dengan mendapatkan bimbingan dari guru.

Didalam membelajarkan IPA/Fisika guru dituntut sejauh mungkin menggunakan pendekatan inquiry (inquiry approach) atau pendekatan dengan menyelidiki. Dengan pendekatan inquiry, siswa dituntut sebanyak-banyaknya melakukan eksperimen atau pengamatan. Dengan demikian sekolah harus memiliki sejumlah alat – alat pelajaran IPA yang memadai baik secara kualitas maupun kauantitas. Apabila alat-alat tersebut tidak ada, guru dituntut untuk mengadakan alat-alat tersebut dengan menggunakan bahan yang sesederhana mungkin namun dapat mempunyai fungsi yang sama dengan alat-alat buatan pabrik. Pengamatan dan eksperimen tidak merupakan satu-satunya cara untuk mempelajari IPA/Fisika, dalam berbagai hal cara-cara menggunakan teori juga harus dibahas. Untuk itu guru harus mempunyai konsep yang jelas mengenai teori dalam IPA/Fisika. Percobaan atau eksperimen jangan dipandang sebagai pelengkap atau penyerta pelajaran, melainkan sebagai bagian yang terintegrasi dengan pelajaran.

Metode penyampaian dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan bahan yang akan diajarkan. Metode ceramah sebaiknya dikurangi. Proses pembelajaran sebaiknya menjadikan siswa lebih aktif, guru hanya sebagai pembimbing atau fasilitator sedangkan siswa aktif melakukan kegiatan-kegiatan. Siswa hendaknya dituntut keaktifannya baik fisik maupun mental ( intelectual-emotional). Metode yang sekiranya baik untuk pembelajaran IPA/Fisika adalah metode eksperimen, metode demonstrasi, metode tanya jawab, diskusi, metode tugas, metode proyek, dll.

3. Pendekatan inquiry dalam pembelajaran IPA-Fisika

Perkataan “inquiry” (inquire) berarti menanyakan, menyelidiki, memeriksa. Proses-proses mental dalam inquiry meliputi : merumuskan problema, mendesain eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengorganisir data, menaganalisis data, menarik kesimpulan. Selain itu juga adanya sikap jujur, objektif, hasrat ingin tahu, terbuka, mau menerima gagasan-gagasan baru atau pendapat orang lain, dsb. Sehubungan dengan hal tersebut maka pembelajaran dengan pendekatan inquiry harus meliputi pengalaman-pengalaman yang menjamin siswa dapat mengembangkan proses-proses inquiry.

Ciri-ciri pembelajaran inquiry menurut Kuslan dan Stone dalam bukunya “ Teaching Children Science : An inquiry Approach “ adalah :

a. Ada proses-proses ilmiah antara lain : mengamati, mengukur, memperkirakan, membandingkan, mengukur, meramalkan, mengklasifikasikan, bereksperimen, berkomunikasi, berpendapat, menganalisis, dan mengambil kesimpulan.

b. Jangka waktu bukan hal penting. Tidak urgen untuk menyelesaikan suatu masalah atau topik hanya karena harus memenuhi waktu yang telah ditentukan.

c. Jawaban-jawaban, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip yang dicari, sebelumnya harus tidak diketahui oleh siswa lebih dulu.

d. Siswa sunggguh-sungguh berminat dalam menemukan pemecahan masalah yang dibahas.

e. Isi atau aktivitas dalam inquiry tidak harus selalu dihubungkan dengan pengajaran-pengajaran yang telah ataupun berikutnya.

f. Setiap masalah agar diidentifikasi dan dipersempit/disederhanakan sedemikian sehingga memungkinkan dapat dipecahkan oleh kelas.

g. Hipotesis-hipotesis diaujukan oleh kelas.

h. Setiap siswa dibebani/bertanggung jawab untuk mengusulkan cara-cara memperoleh data dari eksperimen yang dilakukan, observasi, buku bacaan dan sumber lain yang bersangkutan.

i. Usul-usul tersebut dibahas dan dievaluasi oleh kelas. Bila mungkin agar dapat diidentifikasikan perkiraan-perkiraan, keterbatasan-keterbatasan, serta kesukaran-kesukaran yang bersangkutan dengan usul-usul tersebut.

j. Dalam melaksanakan penyelidikannya, siswa dapat secara perorangan atau bersama-sama dalam suatu kelompok atau bersama-sama seluruh kelas.

k. Siswa meringkas data yang diperoleh, kemudian mengambil kesimpulan sementara mengenai kesesuaiannya dengan hipotesis yang mereka ajukan. Usaha-usaha ini semua mereka lakukan untuk menghasilkan penjelasan / ketrangan ilmiah

l. Kesimpulan-kesimpulan atau penjeleasan tersebut dicari hubungannya sedemikian rupa sehingga bila mungkin dapat dihasilkan suatu konsep atau prinsip IPAyang lebih luas untuk dikembangkan selanjutnya.

Pembelajaran dengan pendekatan inquiry dapat menggunakan berbagai macam metode. Apapun metode yang dipilih hendaknya tetap mencerminkan ciri-ciri pembelajaran dengan pendekatan inquiry. Ada beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk pembelajaran dengan pendekatan inquiry, anatara lain : tanya jawab, diskusi, demosntrasi, eksperimen, dll.
4. Jenis dan tingkatan dari inquiry
Ada beberapa jenis/ tingkatan inquiry, dari yang paling sederhana sampai kepada yng ideal, antara lain :
unes
Oleh: Hadi Susanto, FPMIPA UNNES
Pustaka :
Amien Moch. 1979. Apakah Metode Discovery-Inquiry itu ? Ditjen Dikti Depdikbud
Asikin S Dj. 1978. Pendekatan Inquiry. Bandung : Penataran Guru IPA SLU
Burton WH.1977. The Guidance of Learning Activities
Diyanto. 1980. Diskusi Sebagai Alat Inquiry. Semarang : Media Eksakta
Kuslan & Stone . 1968. Teaching Children Science : an Inquiry Approach.




http://sholahuddin.edublogs.org/2010/03/25/pembelajaran-ipa-dengan-pendekatan-inquiry/

Missing-Link Dalam Pembelajaran Sains


missSemua orang tentu setuju bahwa kehidupan moderen sekarang ini tergantung pada teknologi. Semua bangsa memacu dirinya untuk menguasai teknologi. Sedangkan untuk menguasainya dibutuhkan sains, tanpa menguasai sains terlebih dulu mustahil kita mengembangkan teknologi.

Ironisnya, dalam hal ini masyarakat kita menghadapi kontradiksi, di satu pihak ada keinginan kuat untuk menguasai teknologi karena menyangkut masa depan bangsa, tetapi di lain pihak ada keengganan yang luar biasa dalam mempelajari sains.

Sebetulnya kesulitan dalam pembelajaran sains tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Kesulitan ini terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Berbagai macam metode pembelajaran sudah dirancang dan dituangkan dalam kurikulum yang diusahakan selalu up-todate, tetapi masih saja tampil lemah dan mandul. Adakah sesuatu yang salah?

Cara belajar manusia


Sudah merupakan kodrat makhluk hidup, termasuk manusia, untuk belajar dalam hidupnya. Ia harus belajar peka terhadap lingkungannya, mengenali berbagai kejadian, cerdik memanfaatkan gejala alam, demi kelangsungan hidupnya (survival) sendiri. Kelebihan manusia terhadap makhluk lain adalah kemampuannya belajar sekaligus memprediksikan apa yang terbolehjadi pada masa yang akan datang berdasarkan kondisi yang ada sekarang. Hanya manusia yang dapat membuat rencana, menyusun strategi untuk menyongsong hari depannya.
 

Kendati memiliki tingkatan yang lebih tinggi, cara belajar manusia tetap dipengaruhi oleh cara yang berbau naluriah : trial and error. Dari cara inilah keluar suatu produk yang disebut pengalaman. Kemudian dari pengalaman-pengalaman tersebut tersusunlah dugaan-dugaan yang disusul dengan usaha-usaha pembuktian, sehingga dihasilkan aturan, hukum, konsep dan paradigma ilmu pengetahuan. Sebuah analogi yang menggambarkan cara belajar manusia adalah pendaki gunung. Ia berjalan mulai dari bawah naik ke atas, semakin atas tempat yang dicapainya, semakin luas cakrawala penglihatannya. Menjadi tahu karena mengalami.
Jadi manusia berpikir dan belajar secara induktif. Dari berbagai pengalaman ia mampu melakukan analisa dan sintesa untuk kemudian menjadi ahli. Pada jaman dulu pengalaman-pengalaman ini harus dipelajari oleh beberapa generasi dalam suatu keluarga. Ilmu yang tercipta pun kemudian menjadi ilmu keluarga yang tidak boleh diketahui rahasianya oleh orang luar. Walaupun kerahasiaan ilmu sudah tidak ada lagi di jaman moderen ini, peranan pengalaman masih dominan dalam pembelajaran kita sehari-hari.
Cara belajar dalam keilmuan
Pada jaman sekarang sebagian besar ilmu sudah tersusun rapi, siap untuk disebarluaskan melalui media resmi pendidikan : sekolah. Para murid sudah “tidak perlu” lagi bersusah payah mencari pengalaman sendiri untuk mempelajari sesuatu. Sebagai “gantinya” di sekolah diberikan cerita dan pengulangan terhadap pengalaman orang lain : kuliah dan praktikum. Ibarat pendaki gunung, para murid harus siap diterjunkan langsung di puncak gunung untuk melihat cakrawala keilmuan, hanya sekali-sekali mereka diminta mengamati atau bahkan menelusuri sendiri jalan setapak yang sudah ditemukan orang lain.
 

Belajar dari pengalaman orang lain kualitasnya lebih rendah daripada pengalaman diri sendiri. Seperti orang yang “mendengar” cerita orang lain tentang rasa buah durian, tidak akan pernah lengkap deskripsi tentang rasa tersebut sebelum ia mengalaminya sendiri. Jadi cara belajar keilmuan di sekolah mudah sekali terjebak pada pemaksaan logika pengalaman. Semua yang diajarkan sudah berbau second-hand atau bahkan tangan ke sekian puluh. Bisa dibayangkan betapa hambar “rasa” ilmu tersebut jika para murid hanya disuruh menerima semua itu sebagai fakta begitu saja.
Permodelan dalam sains
Situasi kemudian diperburuk oleh keterbatasan manusia. Semua teori, hukum, yang disusun berdasarkan pengalaman empirik, selalu mengarah pada permodelan. Model yang dipakai selalu berbau ideal, karena manusia tidak sanggup mengurai secara rinci sebagaimana kejadian sesungguhnya. Terlalu banyak kendala (constraint), faktor, komponen, dan proses yang saling membelit (interwoven) dalam perwujudan fenomena sesungguhnya. Model-model itu kemudian sengaja dibuat dengan pengabaianpengabaian, pembatasan-pembatasan, terhadap berbagai kendala dan faktor agar tampilannya lebih sederhana untuk “dipahami”. Tetapi benarkah demikian?
 

Permodelan seperti ini yang jauh dari realita ternyata membuat proses pembelajaran menjadi rumit. Di sekolah para murid harus belajar permodelannya dulu yang kurang realistis, kemudian diminta “turun” mencari kecocokannya dengan kejadian sesungguhnya, dengan terlebih dulu berhadapan dengan “hantu-hantu” sparring-partner logika yang abstrak, yaitu matematika. Cara deduktif seperti ini bukan cara naluriah manusia dalam belajar, sehingga tidak heran jika kebanyakan siswa “berguguran” di tengah jalan dalam proses pembelajaran sains. Memang ada sebagian kecil dari mereka yang berhasil dan menjadi ahli di kemudian hari. Ya, mereka ini memang orang yang sejenis dengan para pendiri ilmu-ilmu itu sendiri, yakni para pemikir yang berbakat untuk melakukan lompatan-lompatan logika dalam belajar.
Lompatan logika, nah ini dia mata rantai yang hilang dalam pembelajaran sains. Adalah watak keilmuan moderen itu sendiri yang memaksakan lompatan logika ini. Jika mata rantai ini dipasang, maka sangat terbolehjadi kita kembali ke jaman sebelum Newton, bapak keilmuan moderen, dimana pengalaman pribadi menjadi komponen utama dengan tenggang waktu belajar yang berkepanjangan.

Sains, untuk siapa?

Selama belum diketemukannya metode yang mampu memasang mata rantai tersebut tanpa harus kembali ke masa pra-Newton, sains adalah barang “mewah” yang tetap berada di luar jangkauan orang awam. Coba sekarang kita amati, berapa orangkah di dunia ini yang benar-benar menguasai teknologi komputer luar-dalam? Ada sejutakah? Seratusribukah? Atau bahkan hanya beberapa ribu orang saja yang berada di lembah Silikon, di pusat-pusat rekayasa komputer macam Microsoft dan sebagainya?
 

Kenyataannya tidak semua orang “perlu” menjadi saintis. Inilah mata rantai kedua pembelajaran sains yang biasa luput dari perhatian orang. Pemasungan para murid, terutama dirasakan oleh mayoritas yang tak berbakat, dilakukan serentak dan sah oleh para pendidik, bahkan oleh para orang tuanya sendiri. Sebagai generasi muda mereka “semuanya” diharapkan dapat menguasai sains. Hal ini tercermin dari “penyempurnaan” kurikulum sekolah yang makin lama makin “hebat” tingkatan dan cakupan keilmuannya. Padahal dengan demikian rantai pembelajaran sains akan terputus karena otak siswa akan
meluap tak tahan dengan derasnya “barang asing” yang berjejal-jejal masuk ke dalamnya.

Penutup

Berbagai usaha telah dilakukan oleh para pendidik untuk menutup kesenjangan akibat missing-link di atas. Intinya adalah pembelajaran sains harus dibuat agar sesuai dengan cara belajar kodrati manusia. Metode yang diciptakan haruslah “mempercepat” proses pembelajaran itu, bukannya membuat lompatan-lompatan seperti yang sekarang terjadi. Lompatan yang fantastis malah menjadi bumerang, para siswa justru akan membenci sains karena kesulitan memahaminya. Nafsu besar tenaga kurang, itulah kira-kira gambaran pembelajaran sains kita dewasa ini. oleh : Sugata Pikatan
 
http://sholahuddin.edublogs.org/2010/06/22/missing-link-dalam-pembelajaran-sains/